Keheningan Emosi
(Mazmur 131:2)
Di dunia yang menuntut kita untuk tampil, menjelaskan, dan membuktikan diri, jiwa seringkali menjadi lelah sehingga membuat emosi menjadi tidak terkontrol. Namun Para Bapa Gereja mengajarkan bahwa jiwa sebagai ruang terdalam tempat Allah bersemayam tetapi ruang ini seringkali dipenuhi dengan kebisingan internal, seperti kecemasan, kesombongan, amarah, geram, kebencian, kegelisahan, rasa bersalah, keinginan akan pengakuan, dan ketakutan akan penolakan sehingga jiwa seringkali diliputi dengan topeng-topeng ketidakmurnian emosi.
Dalam terang iman kristen, emosi bukanlah musuh, melainkan kekuatan jiwa yang perlu dimurnikan dan diarahkan kepada Allah. Para Bapa Gurun mengajarkan bahwa jiwa manusia memiliki daya emosional (thymos) yang jika tidak diteduhkan di dalam Allah, maka akan menjadi liar yang membawa kita menjauh dari Allah. Tetapi jika dilatih dalam keheningan, emosi bisa menjadi bahan bakar bagi kasih, pertobatan, dan doa yang mendalam. Keheningan emosi bukanlah penekanan perasaan, tetapi belajar merasakan bersama Allah, artinya ketika kita terluka, kita tidak menyangkalnya, tapi membawa luka itu dalam doa. Ketika marah, kita tidak langsung meluapkannya, tapi menahannya di hadapan Salib sampai terang Tuhan menerangi alasan dibaliknya.
Emosi-emosi yang kacau ini dapat diatasi dengan doa “Tuhan Yesus Kristus, Anak Allah, kasihanilah aku, orang berdosa ini.” kita memanggil nama Tuhan agar dikasihani oleh-Nya karena kita sadar bahwa kita orang berdosa yang butuh belas kasih-Nya untuk dipulihkan. Perlahan, badai di dalam hati menjadi tenang dan emosi bukan lagi penguasa, tapi hamba yang dibimbing oleh kasih.
Pertanyaan reflektif:
1. Emosi apa yang paling sering menguasai batinku—amarah, ketakutan, rasa bersalah, atau keinginan akan pengakuan—dan bagaimana aku selama ini meresponsnya: dengan membawa ke hadapan Allah atau dengan menyembunyikannya di balik topeng rohani?
2. Seberapa sering aku berseru dalam keheningan kepada Yesus, bukan hanya untuk menyelesaikan masalah, tetapi agar seluruh keberadaanku—termasuk badai emosiku—ditenangkan oleh belas kasih Kristus?
Leave a comment