Allah menetapkan ritme hidup manusia bukan hanya dengan kerja, tetapi juga dengan istirahat. Sabat bukanlah jeda dari realitas, melainkan cara Allah menuntun kita untuk mengingat bahwa hidup ini tidak bergantung pada produktivitas kita. Dalam dunia yang menyanjung kesibukan dan prestasi, istirahat sejati adalah bentuk iman—sebuah pengakuan bahwa Allah tetap bekerja ketika kita berhenti.
Roma 11:36: “Segala sesuatu adalah dari Dia, oleh Dia, dan kepada Dia.”
Segala sesuatu dari Dia.
Waktu luang bukan hasil dari efisiensi manusia, tetapi pemberian dari Allah. Ia yang menata waktu bekerja juga menyediakan waktu berhenti. Ketika kita menolak ritme ini, kita seakan berkata bahwa dunia tidak bisa berjalan tanpa kita. Namun Allah mengundang kita untuk menerima waktu luang sebagai anugerah, bukan sebagai celah untuk melarikan diri, melainkan sebagai kesempatan untuk mengalami kasih karunia. Mahasiswa yang terus mengejar pencapaian tanpa jeda, atau staf yang selalu merasa harus produktif, keduanya perlu belajar bahwa identitas sejati tidak berasal dari hasil kerja, tetapi dari Dia yang memberi waktu untuk berhenti dan bernafas.
Pertanyaan reflektif: Apakah saya mengakui waktu luang sebagai anugerah dari Allah, atau saya memperlakukannya hanya sebagai ruang untuk melanjutkan produktivitas dengan cara lain?
Segala sesuatu oleh Dia.
Istirahat sejati hanya mungkin bila kita percaya bahwa Allah yang menopang kehidupan. Dalam diam di selasar kampus, berjalan di taman, atau duduk menatap langit senja, kita diingatkan bahwa dunia terus berputar bukan karena kita bekerja, melainkan karena Allah yang setia. Ia memulihkan jiwa bukan lewat pelarian, melainkan lewat kehadiran-Nya yang sunyi. Maka waktu luang bukan berarti absen dari Allah, melainkan ruang di mana kita belajar hadir di hadapan-Nya. Dalam keheningan dan kesederhanaan itu, Roh Kudus menata ulang hati yang letih.
Pertanyaan reflektif: Apakah saya sungguh beristirahat di hadapan Allah, atau hanya mengganti satu bentuk kesibukan dengan bentuk lain yang terlihat lebih santai?
Segala sesuatu kepada Dia.
Tujuan akhir dari istirahat bukanlah kenyamanan pribadi, tetapi pemuliaan Allah. Kita berhenti bukan hanya agar tubuh pulih, tetapi agar hati diarahkan kembali kepada Sang Pemberi hidup. Waktu luang yang dikuduskan mengembalikan fokus kita kepada Dia—mengingat bahwa semua jam, semua hari, semua musim hidup adalah milik-Nya. Ketika kita menggunakan waktu luang untuk memperdalam relasi, memperhatikan ciptaan, atau sekadar bersyukur, kita sedang menyatakan: seluruh waktu, bahkan waktu istirahat, adalah bagi kemuliaan Tuhan.
Pertanyaan reflektif: Bagaimana saya dapat menjadikan waktu luang bukan sekadar tempat beristirahat dari pekerjaan, tetapi ruang untuk memuliakan Allah yang menjadi tujuan dari seluruh hidup saya?
Ketika kita belajar berhenti, kita sedang belajar percaya. Waktu luang yang dikuduskan bukanlah kehilangan arah, melainkan penemuan kembali arah yang sejati—bahwa hidup ini mengalir dari Dia, dijalani oleh Dia, dan berakhir kepada Dia. Di tengah dunia yang menuntut lebih banyak kecepatan, Kristus memanggil kita kepada irama kasih karunia: bekerja dengan setia, beristirahat dengan taat, dan menyerahkan seluruh waktu kepada-Nya yang memegang kekekalan.
Rekomendasi Buku:
Sacred rhythms (irama kudus): mengarahkan hidup kita bagi transformasi rohani
Ruth Haley Barton
https://dewey.petra.ac.id/view/149680
Hollywood heroes: pahlawan-pahlawan hollywood
Frank Turek
https://dewey.petra.ac.id/view/150984
Liturgy of the ordinary : liturgi kehidupan sehari-hari.
Tish Harrison Warren
https://dewey.petra.ac.id/view/105140
Leave a comment