Keheningan Perkataan
(Amsal 10:19)
Dalam budaya yang memuliakan kecepatan berkata-kata, opini instan, dan kebutuhan untuk selalu didengar, keheningan sering disalahpahami sebagai kelemahan. Keheningan perkataan bukan berarti bungkam, tapi menahan diri demi kasih. Keheningan perkataan semacam ini adalah buah dari batin yang suci dan emosi yang murni dan tenang.
Orang yang melatih keheningan tahu bahwa tidak semua harus dikomentari, tidak semua harus dijawab, tidak semua perlu dijelaskan. Kristus sendiri memberi teladan ini kepada kita ketika Ia diperhadapkan pada pengadilan, penganiayaan dan Salib dikatakan bahwa Ia “tidak membuka mulutnya” (Yesaya 53:7) dan juga “tidak membalas dengan mencaci maki, tidak mengancam tetapi menyerahkannya kepada Bapa-Nya” (1 Petrus 2:23). Dalam keheningan itu, terletak kemenangan kasih yang paling agung; keheningan yang muncul dari batin, pikiran dan emosi yang suci hening.
Mari mulai hari ini kita diajak untuk menguasai diri dalam kata-kata kita. Hal ini bukan karena kita takut berbicara tetapi karena kita ingin berkata-kata dalam keheningan yang kudus. Kita berdoa seperti Pemazmur berdoa “Awasilah mulutku, ya TUHAN, berjagalah pada pintu bibirku” (Mazmur 141:3) sehingga segala “perkataan Kristus dia dengan segala kekayaannya di antara kamu” (Kolose 3:16a).
Pertanyaan reflektif:
1. Dalam percakapan sehari-hari, apakah aku membiarkan diriku menjadi alat damai dan penghiburan, atau justru memperkeruh suasana dengan kata-kata yang tidak dijaga dan tidak perlu?
2. Sudahkah aku belajar untuk berdiam dalam keheningan yang kudus—menahan diri dari komentar, pembelaan, atau keluhan—sebagai bentuk menapaki Inkarnasi dan Salib Kristus?
Leave a comment